Hari sabtu sore saya ada janji menjemput istri di daerah Kemang, tempat biasanya bus – bus menurunkan penumpang. Istri saya baru pulang dari Jakarta. Saya berhitung, kalau lancar paling – paling 15 menit sudah nyampe. Kalau tidak lancar, ya 25 menitan. Padahal jaraknya paling – paling cuma 3 – 4 Km.
Dengan semangat 45, mobil dari garasi langsung dikeluarkan ke jalan dalam beberapa detik saja. Pintu garasipun tak ditutup kembali berharap si bibi menutupkan.
Sampai di jalan raya kebetulan tepat didepan ada mobil angkot. Baru berjalan beberapa meter di jalan raya, angkot berhenti tanpa memberi tanda. Ya ampun... berhentinya pun di lajur lalu lintas, tidak mau menepi ke bahu jalan. Karena mendadak, saya tidak sempat banting ke kanan. Masih untung buat saya mobil tidak menabrak angkot, hanya hampir cium pantat angkot saja. Sambil menggerutu dalam hati mengutuk sopir angkot saya banting ke kanan setelah terlebih dulu memberi sen ke kanan takut dibelakang ada kendaraan lain.
Belum juga saya selesai menyalip sang angkot yang berhenti, angkot sudah mulai bergerak jalan lagi seolah tidak ada rasa salah. Sekilas saya lihat ke arah wajah sopir. Si sopir membuang muka melihat ke arah kiri. Mungkin tengsin bertatapan muka sama saya, karena salah. Saya perlambat lagi laju mobil saya tidak jadi menyalip angkot. “Sialan, mau disalip malah jalan” maki saya dalam hati.
Berjalan beberapa ratus meter ada seorang ibu dipinggir jalan. Angkot didepan saya mulai memperlambat jalannya, mungkin berharap si ibu mau naik angkotnya. Sebenarnya si ibu tidak menunjukkan tangannya memberhentikan angkot, hanya saja si sopir angkot kege-er-an barangkali si ibu mau naik angkot. Angkot pun meliuk kekiri tapi tidak menepi ke bahu membuat saya yang dibelakang berantisipasi juga siap – siap ke kanan, khawatir berhenti mendadak lagi.
Benar saja, angkot berhenti mendadak lagi dan tanpa menepi ke bahu jalan. “Sialan” maki saya. Tapi kali ini saya lebih siap. Begitu melihat gelagat angkot meliuk ke kiri, saya kasih sen kanan terus menyalip dengan cepat.
Tak berapa lama saya sampai diperempatan Kebon Jahe. Memang kalau lagi terburu – buru gak pernah lampu simpang mendukung memberikan lampu hijau supaya dapat langsung menerobos simpang. Antrilah saya di simpang. Didepan saya ada beberapa angkot dan bus ikut mengantri. Pikir saya, banyak sekali angkot ini, jangan – jangan lebih banyak angkotnya daripada penumpangnya. Soalnya saya lihat didalam angkot kursi penumpang pada kosong.
Lampu lalu lintas berubah warna dari merah ke hijau. Kendaraan yang antri satu persatu melepaskan diri dari simpang. Sampai diseberang simpang ada bus didepan saya berhenti menurunkan penumpang. Semua kendaraan dibelakangnya ikutan berhenti karena lajur sebelah kanan dipenuhi kendaraan dari arah sebaliknya sehingga tidak bisa menyalip.
Tidak berapa lama saya sampai di simpang lagi, simpang warung pojok. Simpang ini sepertinya mempunyai prospek menjanjikan untuk dijadikan "terminal". Buktinya disekitar simpang banyak mangkal tukang ojek yang nangkring di trotoar, becak – becak nangkring di badan jalan, bus ¾ ikutan menghalangi jalan dengan mencari penumpang (ngetem) di badan jalan, beberapa angkot juga ikut-ikutan ngetem.
Selain berpotensi jadi terminal, simpang ini juga punya potensi besar dijadikan Pusat Perbelanjaan (One Stop Shopping). Coba saja lihat, dibahu jalan disekitar simpang banyak berjualan kaki lima. Di area "food court" ada yang jualan gorengan, martabak, sate, buah-buahan, tahu sumedang, chicken crispy, warteg, pecel lele, dll. Di area otomotif, yang memakan area trotoar ada bengkel motor, penjual sparepart otomotif. Di area hiburan ada yang jualan DVD bajakan (karena yang asli harganya 10 s/d 15 kali lipat).
Selesai memperhatikan Pusat Perbelanjaan Simpang Warung Pojok, mata saya melihat lampu sudah berubah ke hijau. Saya bergerak maju. Belum sampai mobil saya di ujung simpang, angkot didepan saya berhenti karena terlihat ada beberapa penumpang di tepi jalan. Ya Tuhan, apakah gak bisa orang – orang ini naik angkot agak jauhan dari simpang, pikir saya. Beberapa kendaraan yang ada dibelakang saya malah masih ada ditengah – tengah simpang. Mereka mulai panik karena lampu lalu lintas pada simpang diarah yang bersilangan sepertinya akan segera hijau, sedangkan mereka tertahan tepat ditengah – tengah simpang. Mereka yang panik mulai menyalakan klakson keras – keras meminta pengertian sopir angkot yang berhenti menutup jalan. Akhirnya sopir angkot sialan itu jalan juga. Saya cepat – cepat salip angkot itu begitu ada kesempatan tanpa memperdulikan lagi mobil – mobil dibelakang.
Didepan saya masih ada 1 simpang lagi yang tidak kalah semrawutnya yaitu Simpang Ciceri sebelum saya sampai ditujuan saya, daerah Kemang. Yaaa, saya pasrah saja lah. Mudah - mudahan istri saya sabar menunggu.
hapuskan angkot dari jalan
BalasHapushmmmh.... setuju untuk "delete" angkot dari jalanan
BalasHapussabar ya pak robi....katanya orang sabar kuburannnya lebaaaar hehehhe
BalasHapus